Sunday, March 09, 2008

ETIKA BISNIS JEPANG

Jika Anda ingin berbisnis dengan Jepang, keberhasilannya sangat bergantung pada pemahaman budaya setempat. Karena itu, kenali tiga hal ini: wa, kao, dan omoiyari.

JEPANG merupakan contoh menarik perpaduan harmonis antara modern dan tradisional. ‘’Negeri matahari terbit’’ ini tidak hanya memancarkan sinar kemajuan industri dan teknologi, melainkan juga memiliki keunikan budaya yang tak tenggelam di tengah arus modernisasi. Jangan kaget jika di negeri dengan ekonomi terbesar kedua dunia ini Anda menjumpai segala sesuatunya berbeda secara fundamental. Budaya Jepang —dalam banyak hal bersumber pada spirit Konfusianisme dan Shintoisme— sangat mewarnai kehidupan sosial dan etos bisnis. Jepang memiliki budaya konteks tinggi yang sangat berbeda, khususnya dengan budaya Barat, yang lebih egaliter dan terbuka.

Pilar utama nilai-nilai budaya Jepang dikenal dengan wa (harmoni), kao (reputasi), dan omoiyari (loyalitas). Konsepsi wa mengandung makna mengedepankan semangat teamwork, menjaga hubungan baik, dan menghindari ego individu. Perlu diingat, pengaruh nilai wa dalam pola budaya Jepang terutama udaya bisnis— yaitu ekspresi tidak langsung dalam menyatakan penolakan.Orang Jepang tidak bisa berkata tidak. Dalam menyampaikan pendapat, mereka lebih mengutamakan konteks, tidak menyatakannya secara terbuka. Secara harfiah, kao berarti wajah. Wajah merupakan cermin harga diri, reputasi, dan status sosial. Masyarakat Jepang pada umumnya menghindari konfrontasi dan kritik terbuka secara langsung. Membuat orang lain ‘’kehilangan muka’’ merupakan tindakan tabu dan dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan bisnis. Sedangkan omoiyari berarti sikap empati dan loyalitas. Spirit omoiyari menekankan pentingnya membangun hubungan yang kuat berdasarkan kepercayaan dan kepentingan bersama dalam jangka panjang.

BUDAYA DAN IKLIM BISNIS

Memasuki abad ke-20, setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang mulai mengadopsi teknologi Barat dan menggenjot industri dalam negerinya. Sejak itu, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat dan menjadi salah satu negara pengekspor paling sukses. Kini Jepang merupakan negara industri terkemuka, dengan iklim bisnis dan pasar terbuka yang ramah bagi investasi dan perdagangan asing. Meskipun Jepang mengalami proses modernisasi yang cepat, pola budaya dan tradisinya masih kental mewarnai praktek dan hubungan bisnis. Berikut gambaran praktek bisnis di Jepang pada umumnya.

  • Struktur dan hierarki dalam bisnis dan perusahaan Jepang sangat kuat. Hierarki yang kuat juga tercermin dalam negosiasi bisnis. Proses negosiasi biasanya dimulai dari executive level, kemudian dilanjutkan pada middle level. Meskipun demikian, keputusan dibuat secara kolektif.

  • Proses negosiasi bisnis dengan Jepang dikenal alot dan lamban. Namun adanya persaingan bisnis yang ketat dewasa ini mendorong pengambilan keputusan dibuat lebih cepat dan efisien.

  • Dalam budaya bisnis Jepang, senioritas sangat dihormati. Umur dan status biasanya terkait erat. Dalam pertemuan bisnis, posisi tempat duduk didasarkan pada tingkat senioritasnya.

  • Di Jepang, kontrak bisnis tidak otomatis diartikan sebagai kesepakatan akhir. Lebih penting dari itu adalah memelihara relasi dengan baik untuk kepentingan jangka panjang.

ETIKA BISNIS JEPANG: DO’S AND DON’TS

  • Kebiasaan umum di Jepang dalam perkenalan, menyambut, atau memberi salam adalah dengan ‘’membungkuk’’. Menyambut dan memberi salam hendaknya dilakukan dengan sopan dan penghormatan yang wajar. Jika relasi Anda membungkuk, pastikan bahwa Anda membalasnya, membungkuk serendah yang dilakukan oleh relasi Anda. Dalam hal tertentu, cukup dengan berjabat tangan. Dalam perkenalan, jangan menyapa relasi Jepang Anda dengan nama depannya. Orang Jepang lebih suka menggunakan nama belakangnya. Gunakan sebutan Mr, Mrs, atau menambah san pada nama keluarga. Misalnya, Mr. Hiroshima atau Hiroshima-san.

  • Pertukaran kartu nama (business card). Saling tukar kartu nama atau ‘’meishi’’ merupakan kebiasaan yang penting di Jepang. Pembicaraan bisnis selalu diawali dengan pertukaran kartu nama. Pemeo mengatakan, bisnis belum dapat dimulai sampai ada pertukaran kartu nama. Gunakan dua tangan pada waktu menyerahkan kartu, demikian pula sebaliknya ketika menerima. Pertukaran kartu nama dilakukan setelah ritual salam membungkuk usai dilaksanakan. Pada waktu menerima kartu nama dari calon relasi bisnis, tunjukkkan bahwa Anda telah mengamatinya dengan cermat dan saksama sebelum menaruhnya di atas meja atau memasukkannya dalam card case. Jangan memasukkan kartu ke dalam dompet, kantong celana, atau menulis pada kartu yang Anda terima. Tindakan ini dipandang sebagai tindakan tidak respek dan sopan. Kartu hendaknya dicetak dalam dua bahasa, di satu sisi bahasa nasional Anda dan pada sisi sebaliknya dengan bahasa Jepang. Hal ini untuk menunjukkan kemauan kuat Anda untuk berkomunikasi dengan relasi Jepang Anda.

  • Pertukaran cenderamata atau oleh-oleh. Membawa dan memberikan oleh-oleh merupakan bagian warisan budaya bisnis Jepang tempo dulu yang sangat penting. Pada era bisnis Jepang kontemporer, meskipun membawa oleholeh tidak lagi menjadi keharusan, hal itu tetap dihargai sebagai bagian dalam etika bisnis Jepang. Namun, harus diingat, jangan membawa cenderamata terlalu besar, sebab dapat dianggap sebagai “sogokan’’. Cenderamata itu sendiri sebenarnya tidaklah terlalu penting. Yang lebih penting dari itu adalah prosesi dan nuansa yang terjadi di balik tukar-menukar cenderamata itu. Cenderamata harus selalu dibungkus secara cermat. Jangan menggunakan kertas bungkus dengan warna putih polos karena menyimbolkan kematian. Penyerahan cenderamata hendaknya dilakukan pada akhir pertemuan atau kunjungan. Penyerahan dilakukan dengan dua tangan, demikian sebaliknya pada waktu menerima.

  • Ketepatan waktu. Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat dengan budaya tepat waktu yang tinggi. Terlambat dalam suatu pertemuan bisnis dianggap tidak menghargai. Datang lima menit lebih awal merupakan praktek yang umum.

  • Penampilan dan busana. Orang Jepang dikenal sangat konservatif soal pakaian. Mereka sangat menghargai seseorang yang berpakaian pantas sesuai dengan status dan posisinya atau bahasa kerennya, dress to impress. Dalam acara bisnis, jangan mengenakan pakaian casual. Laki-laki sebaiknya memakai business suits warna gelap konservatif. Wanita dianjurkan tidak memakai celana panjang karena dinilai kurang sopan dan memberi kesan ofensif.

  • Jamuan bisnis. Orang Jepang hampir tidak pernah mengundang jamuan di rumah. Jamuan bisnis umumnya diadakan di restoran. Biasanya tuan rumah akan memilih menu dan membayarnya. Perlu dicatat, memberikan tip bukan hal yang lumrah di Jepang.

  • Privasi dan body language. Masyarakat Jepang sangat menghargai privasi dan merasa nyaman dengan sikap tenang. Dalam berbicara atau negosiasi, hindari sikap dan gerakan-gerakan tangan yang berlebihan. Orang Jepang tidak bicara dengan tangan. Menunjuk dianggap tindakan yang tidak sopan. Jangan pula menggunakan isyarat ‘’OK’’ dengan tangan, karena di Jepang berarti uang. Hindari simbol-simbol angka 4 (empat). Masyarakat Jepang mempercayai angka 4 sebagai angka dan nasib buruk (bad luck) karena bunyi bacaan shi punya kesamaan arti dengan kematian.

  • Di “negeri sakura’’, ungkapan gomenasai (maaf) dan arigato (terima kasih) banyak kita dengar di berbagai tempat dan kesempatan. Menyatakan terima kasih secara intens dan berulang kali dianggap perbuatan yang santun. Nah, setelah mengetahui etika bisnis Jepang, sebaiknya Anda mulai mempraktekannya supaya sukses mendulang emas di ‘’negeri samurai’’ itu. Hai, domo, arigato...!

Saturday, March 01, 2008

Kehidupan beragama masyarakat Jepang


10.jpg
Agama adalah topik yang cukup menarik dan digemari di negara kita. Bahasan tentang agama banyak berlangsung di berbagai tempat dengan suasana akrab dan hangat、namun tidak jarang juga berubah menjadi panas bahkan cendrung brutal. Misi agama sebagai penyebar kedamaian dan ketentraman menjadi kehilangan bentuk aslinya bahkan tidak berlebihan kalau dibilang menakutkan dan menghawatirkan. Bagaimana dengan jepang ?

Gambaran Umum

Jepang adalah negara sekuler, yang berarti negara tidak ikut campur masalah agama. Dalam setiap data pemerintahan atau surat surat resmi lainya tentang identitas penduduk, masalah agama tidak dicantumkan dan juga tidak akan pernah ditanyakan. Dalam sistem pendidikan, mata pelajaran agama, sebagai mata pelajaran tersendiri, seperti sistem pendidikan di Indonesia, tidak dikenal. Agama hanya diajarkan sebagai bagian dari mata pelajaran sejarah, sedang dalam kehidupan masyarakat, agama digolongkan sebagai kegiatan budaya. Kantor agama mentri agama dan juga hari libur agama praktis tidak ada. Tentu saja, bagi orang seperti saya dan juga mungkin anda jelas, sangat membingungkan.

Waktu mempelajari pelajaran sejarah dunia saya diajarkan bahwa mayoritas penduduk Jepang beragama Buddha dan agama asli mereka adalah Shinto. Penjelasan yang tentu saja tidak salah, karena dua tempat ibadah itulah yang paling dominan bisa temukan di sini. Dari data yang dikeluarkan oleh Departmen Pendidikan Jepang tahun 1992 menyebutkan dari sekitar 120 juta penduduk Jepang yang ada, pengikut agama Shinto adalah 106.6 juta, Buddha 95,7 juta, Kristen 1.4 juta lain lain 10,8 juta. Apa yang aneh dari data di atas ? Semua angka itu kalau dijumlah akan melebihi jumlah penduduk Jepang ! Kanapa bisa begitu ? Hal ini disebabkan karena data dikumpulkan dari laporan pengurus kuil yang mencatat semua penduduk di sekitar kuil adalah pengikutnya. Kalau kita mengetahui bahwa, kebanyakan orang jepang merayakan hari kelahiran dan pernikahan di kuil shinto dan upacara kematian dengan upacara Buddha, atau dengan kata lain beragama ganda pasti akan bisa mengerti.
Bingung ? Tentu saja dan mungkin akan lebih bingung lagi kalau anda mengetahui bahwa kebanyakan orang muda jepang melangsungkan pernikahannya di gereja, yang. Apakah mereka adalah pasangan yang beragama Kristen ? Siapa yang peduli !

Shinto dan Buddha adalah dua hal yang tentu saja berbeda, namun bagi orang jepang tidaklah terlalu penting. Apakah isi dan ajaran dari masing masing agama itu bisa dipastikan tidak akan banyak penjelasan yang bisa kita dapatkan dari mereka, bukan karena sifat tertutup atau malas menjelaskan, tapi karena memang mereka benar benar tidak tahu ! Oang Indonesia tampaknya jauh lebih tahu tentang agama Buddha, walaupun mereka tidak memeluk agama tersebut, dari pada orang jepang yang (mengaku) beragama Buddha. Shinto lebih membingungkan lagi, karena tidak ada ajaran apapun yang tampakanya perlu diajarkan.

Dalam hal agama, orang Jepang cendrung bersikap dingin dan tidak peduli. Bagi mereka agama tidaklah cukup atau mungkin juga dianggap tidak akan bisa mengatasi permasalahan sehari hari seperti pelajaran di sekolah atau masalah di tempat kerja. Bahkan ada sebagian kecil pendapat yang mengatakan, agama adalah untuk orang yang mengalami gangguan jiwa ! Weleh, kebanyakan orang kita pasti akan tidak setuju atau marah kalau mendengar pendapat ini. Jadi berarti kebanyakan orang Indonesia adalah orang yang mengidap ganguan jiwa, karena tiap hari berkutat dengan agama ?.. Tenang saja, saya dulu juga kaget dan sedikit marah mendengar pendapat miring tersebut, “So what ?” Kalau orang yang sakit jiwa menjadi sehat setelah diberi agama, tentu tidak ada yang salah bukan ? Persaingan, tekanan hidup yang berlebihan, sakit yang tidak tersembuhkan kemiskinan atau kehilangan tujuan hidup sering menjadikan agama sebagai jawabannya dari sebagian kecil dari mereka. Dalam situasi yang normal, sehat dan wajar, kebanyakan orang jepang tidak memerlukan agama dalam kehidupannya sehari hari.

Agama kadang dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan berbahaya, terutama sejak munculnya kasus gerakan Aum Shinrikyo yang terkenal dengan serangan gas sharinnya. Teror dan perang atas nama agama yang banyak terjadi belahan dunia lain, tampaknya seperti membenarkan pendapat meraka dan membuat kecurigaan mereka agama seakan mendapat tempat.

Kebanyakan orang jepang cendrung menjawab, “Tidak beragama” ketika ditanya tentang yang mereka anut. Jawabanya yang sah sah saja, dan juga tidak akan ada yang mempersalahkan apalagi ditangkap. Sebagian lagi mungkin akan menjawab “tidak tahu” atau bingung, harus menjawab apa. Pertanyaan tentang agama cendrung umum ditanyakan oleh orang asing, tidak bagi sesama orang jepang. Nah, bagi mereka yang tidak biasa atau tidak pernah berkomunikasi dengan orang asing, mendadak ditodong dengan pertanyaan “Agama lo apa ?” terang saja mereka bingung dan menjawab tidak tahu. Walaupun mereka tidak beragama bukan berarti tidak percaya Tuhan, seperti anggapan saya selama ini. Percaya pada Tuhan yang mereka sebut Kami-sama, berdoa di kuil minimal setahun sekali, ketika pergantian tahun baru tampaknya sudah cukup bagi kebanyakan mereka.

Bagi kebanyakan orang jepang, agama adalah suatu kebebasan. Dengan beragama jiwa menjadi bebas. Siapapun bisa datang dengan bebas ke kuil manapun dan kapan saja untuk berdoa seperti yang umum dilakukan oleh kebanyakan orang Jepang. Berkunjung ke kuil, bukan untuk berdoa tapi cuma untuk rekreasi atau sekedar ambil foto juga boleh boleh saja, yang bukan hanya dilakukan oleh orang asing tapi kadang oleh orang jepang sendiri. “Tidak boleh masuk, kecuali umat” atau “tidak boleh masuk kecuali untuk sembahyang” hampir tidak dikenal, tapi di beberapa kuil berlaku aturan “Tanpa membayar tidak boleh masuk”, karena selain sebagai tempat sembahyang, kuil juga berfungsi sebagi tempat wisata. Walaupun tujuannya memang benar benar untuk sembahyang, sama saja harus bayar penuh tanpa ada diskriminasi diskount.

Namun walaupun kehidupan beragama mereka berbebas ria, namun dalam tata krama etika sopan santun berprilaku dan berbahasa sangat ketat bahkan bisa dikatakan keterlaluan. Bagi yang pernah mempelajari bahasa jepang pasti tahu, bahwa untuk diri sendiri dipakai kata yang biasa sedangkan untuk orang lain dipakai kata bentuk halus sebagai tanda menghargai atau hormat, jadi satu kalimat dua kata yang berbeda tapi artinya sama. Pilihan kata yang salah atau terbalik dianggap sebagai tidak tahu manner atau tidak sopan, tanpa peduli betapa seringnya anda sembahyang.

Tolerasi kehidupan beragama

Ketika zaman Edo (1603 - 1868) agama Kristen dilarang keras oleh pemrintah Shogun. Pengikutnya dihukum mati atau diusir ke luar Jepang, namun sekarang hal itu tampaknya tidak terjadi lagi. Gereja bisa kita jumpai di banyak tempat, bersebelahan dengan kuil atau jinja. Jadi secara umum, tolerasi kehiduapan beragama bisa dikatakan sangat bagus. Perusakan dan pembakaran tempat ibadah agama lain, yang dahulu sering terjadi hampir tidak kita temukan sekarang ini. Dalam setiap acara pesta atau perayaan, karena saya dari Indonesia, pertanyaan seperti “Apakah bisa makan babi atau minum bir ?” hampir selalu ditanyakan. Beberapa rekan lain bahkan mengatakan ada orang jepang yang mengingatkan kalau arah kiblat sembahyang yang mungkin salah, karena melihat orang lain yang sembahyang ke arah yang berbeda. Memang urusan agama adalah urusan individu yang tidak akan dicampuri oleh pemerintahnya, yang berarti perlakuan khusus, permohonan ruang, waktu atau libur khusus sembahyang bagi yang bekerja misalnya, berarti juga tidak ada.

Komentar Pribadi

Tanpa agama, apakah mereka bisa bahagia ? Apa tujuan hidup mereka ? Bagaimana mereka menjaga keseimbangan antara rohani dan jasmaniah ? Bagaimana hubungannya dengan kasus bunuh diri yang banyak terjadi di sana ? Adalah beberapa pertanyaan umum yang sering saya baca di berbagai blog tentang jepang. Pertanyaan yang tampaknya wajar, namun apapun jawabannya tampaknya tetap saja susah untuk kita mengerti, sama halnya dengan orang jepang yang juga susah mengerti “keterikatan” kita yang menurut mereka berlebihan dalam hal agama. Agama adalah ibarat bekerja bagi orang Indonesia, tanpa bekerja kita tidak bisa hidup, sama halnya dengan bekerja adalah agama bagi orang Jepang. Dengan penjelasan seperti mungkin bisa sedikit lebih mudah diterima bagi orang Jepang. Mereka tampak bangga dengan budaya kerja kerasnya dan orang orang yang tersisih karena kehilangan pekerjaan misalnya lebih memilih untuk bunuh diri karena merasa kehilangan harga diri dan mungkin juga pegangan hidup.

Hasil survey yang pernah dilakukan tentang kepercayaan orang jepang terhadap agama, yang saya ambil dari buku Japan Religion and Society Pradigms of Structure and Change, karangan Winston Davis, 1992, menunjukkan hasil yang cukup mencengangkan, hanya 12 % responden yang menggap kepercayaan agama adalah penting, 44% menganggap tidak penting, orang jepang yang percaya pada Tuhan hanya 38 %, sisanya tidak percaya atau lebih suka dengan menjawab tidak tahu ( terlampir ). Saya pribadi cuma bisa menduga duga , mungkin maksudnya adalah agama tidak penting namun tindakan nyata dengan berprilaku yang baik adalah lebih penting. Tingkat keamanan, ketertiban dan sopan santun mereka mungkin bisa dijadikan indikasi. Sedangkan keengganan mereka menjawab tentang keberadaan Tuhan juga tampaknya dipengaruhi oleh ajaran Buddha yang berbau agnostik ( atheis ?) karena lebih menekankan ke arah perbaikan prilaku dan pencarian diri dibanding kan dengan pencarian Tuhan. “Apa nama Tuhan dalam agama Buddha ?” tampaknya susah untuk di jawab, sedangkan kepercayaan asli mereka Shinto, mungkin relatif lebih baik, karena setidaknya ada kata “Kami-sama” untuk menunjuk nama Tuhan. Tentu saja, semua itu hanyalah pendapat saya pribadi saja.

Note : Sebetulnya penggunaan istilah Kuil Shinto untuk Jingja juga kurang tepat benar, karena kuil Shinto hanya ada beberapa buah saja, salah satunya adalah Kuil Yakuzuni, yang menghebohkan karena di juga dipakai untuk menghormati tentara yang gugur saat PD II. Namun kebanyakan orang terutama orang asing terlajur mengenal Jinja sebagai kuil Shinto. Kalau perbedaan antara Shinto dan Jinja serta bagaimana Jinja bisa berubah menjadi berkonotasi Shinto dibahas disini, ceritanya akan menjadi semakin panjang dan membingungkan dan mungkin juga membosankan, jadi sebaiknya diakhiri saja.

Saturday, February 02, 2008

ETIKA SECARA UMUM

Bangsa Jepang adalah bangsa yang sangat sopan dan perasa sehingga etika adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Walaupun mereka tidak mengharapkan orang-orang luar negeri untuk mengikuti kebiasaan mereka seratus persen, tetapi usaha untuk mengikuti tata-krama Jepang akan sangat dihargai.
Dengan keramahan dan sopan santun yang dimiliki oleh orang Indonesia, serta panduan dibawah ini diharapkan tidak terjadi penyimpangan yang terlampau jauh.

MEMBUNGKUK :

Meskipun mengucapkan salam sambil membungkuk adalah hal yang amat sering kita temui diantara orang-orang Jepang, tapi bagi orang luar negeri, jabatan tangan waktu berkenalan juga sering digunakan, diikuti dengan anggukan yang sopan. Sikap semakin membungkuk menunjukkan derajat hormat seseorang.

KARTU NAMA :

Berkenalan dengan orang Jepang sering dimulai dengan saling bertukar kartu nama, terutama bagi bisnismen. Dalam kartu nama biasanya tercantum nama, posisi dan alamat. Waktu menerima kartu nama pada pertemuan formil, pelajarilah secara seksama kartu nama yang diterima dan letakkanlah secara hati-hati diatas meja. Jangan sekali-sekali memberikan coretan pada kartu nama orang lain apa lagi memasukkannya ke kantong celana belakang. Ini adalah tindakan yang sangat merendahkan.

HADIAH :

Dalam kehidupan sosial bangsa Jepang, memberi dan menerima hadiah adalah bagian yang penting. Hadiah biasanya tidak langsung dibuka dihadapan pemberi hadiah. Kesempatan-kesempatan dimana kita harus memberikan hadiah adalah :

  1. Pada akhir tahun yang disebut "Oseibo" dan Bulan Juli yang disebut "Ochugen" pada saat festival Bon. (Hadiah diberikan kepada orang-orang yang telah banyak membantu atau yang kita hormati.)

  2. Sewaktu berkunjung ke rumah seseorang.

  3. Membalas hadiah yang sudah kita terima sebelumnya. Hadiah bisa berupa: Makanan hasil utama dari daerah tertentu, atau minuman keras dengan kwalitas baik dan mahal.

CARA DUDUK :

Dalam ruangan tatami biasanya tidak terdapat kursi atau bangku. Tata-krama Jepang mengharuskan pria/wanita duduk dengan kaki dilipat dalam suasana formil. Setelah beberapa saat, bila kaki kita sudah terasa kesemutan, wanita dapat duduk menyamping dan pria dapat duduk bersila. Meluruskan kedua kaki adalah tindakan informil.

MASKER :

Gunakanlah masker waktu terserang influensa, supaya tidak menularkan penyakit itu kepada orang lain. Sebab itu di jalan-jalan akan sering kita temukan orang-orang Jepang yang bermasker.

APARTEMENT :

Jangan membayangkan apartemen mewah seperti yang banyak terdapat di Jakarta dengan kolam renang, pusat kebugaran atau lapangan tenis di apaato Jepang. Apaato di Jepang biasanya terbuat dari kayu. Kondisi yang lebih baik dari apaato disebut mansion dengan bangunan yang lebih kokoh terbuat dari tembok. Tapi disinipun tetap tanpa kolam renang atau fasilitas mewah lainnya.

BERKUNJUNG :

Bila tuan rumah hanya mengundang satu orang saja, maka sebaiknya tidak mengajak teman waktu berkunjung. Bawalah sekedar oleh-oleh, ketuklah pintu tidak lebih dari 2 X, kalau tidak terdengar ulangi sekali lagi. Karena ketukan yang bertubi-tubi sangatlah mengganggu. Sebelum masuk rumah, biasanya tamu akan ditawari sandal. Gunakan dengan kaki kita yang berkaus kaki atau stoking. Gantilah sandal dengan sandal khusus yang digunakan di toilet bila kita ke toilet. Tinggalkan sepatu yang kita pakai dalam keadaan terjejer rapi, dan untuk pelayanan kepada tamu biasanya nyonya rumah akan merapikan dan letak sepatu kita menghadap ke luar rumah agar kita dapat segera menggunakannya kembali saat meninggalkan rumah.

TOILET :

Toilet di Jepang biasanya tidak menjadi satu dengan kamar mandi. Ada dua jenis toilet di Jepang yaitu jenis duduk dan jenis jongkok. Apapun jenisnya tidak tersedia gayung ataupun ember untuk menyiram di dalam toilet. Gunakanlah kertas toilet yang tersedia untuk membersihkan diri, sehingga tidak membasahi toilet yang biasanya selalu dalam keadaan kering. Yang agak menakutkan bagi orang asing adalah toilet yang berteknologi tinggi seperti dalam gambar.

Monday, January 28, 2008

TENTANG JEPANG


Jepang adalah Negara yang terbentang membentuk busur pada arah Barat Laut Samudra Pasifik di tepi Timur Benua Eurasia. Terdiri dari pulau – pulau besar dan kecil dengan luas sekitar 378.000 km2 membentang dari Selatan ke Utara sepanjang 2.500 km dan terletak pada sekitar 20° - 46° LU. Pulau – pulau utamanya adalah Hokkaido, Honshu, Shikoku, Kyushu, dan Okinawa.Honshu terbagi dalam 5 daerah, yaitu Tohoku, Kanto, Chubu, Kinki dan Chugoku. Sekitar tiga perempat dari daratan Japang terdiri dari daerah pegunungan dan perbukitan, sedangkan tanah datar yang tersedia untuk lahan dan pengembangan kota sangat terbatas. Di daerah yang terbatas inilah tinggal lebih kurang 130 juta penduduk.

Iklim umumnya lembut dengan perubahan 4 musim yang jelas karena Jepang terletak hampir di pusat daerah beriklim sedang. Musim semi dan musim gugur sangat nyaman namun pada musim panas ( Juli – Agustus) angina bertiup dari Samudera Pasifik sehingga menjadikan Jepang panas, sebaliknya pada musim dingin (Desember – Februari) angin bertiup dari daratan menjadikan Jepang sangat dingin. Kecuali kepulauan Hokkaido, pada bulan Juni berlangsung Tsuyu ( musim hujan) dan hampir setiap hari turun hujan. Disamping itu, karena kepulauan Jepang memiliki struktur daratan yang rumit dan memanjang dari Selatan ke Utara, adanya perbedaan iklim yang mencolok antar daerah merupakan kekhasan tersendiri. Di Hokkaido dan Honshu sekitar Laut Jepang, pada musim dingin curah saljunya tinggi. Dengan memanfaatkan perubahan musim seperti ini berbagai macam olah raga pantai dan olah raga musim dingin bisa dinikmati dengan menyenangkan.

Perihal makanan tidak hanya masakan Jepang yang terdiri dari nasi, sebagai makanan pokok, serta sayuran, ikan, dan daging saja sebagai lauk pauknya, masakan Cina dan Eropa pun cukup popular. Dewasa ini bermacam – macam jenis masakan dari berbagai penjuru dunia bisa dinikmati. Jepang jug dikarunia air yang bermutu dan fasilitas higiennya sangat baik sehingga air keran di semua daerah aman di konsumsi.

Kebudayaan Jepang dewasa ini sangat beragam. Para remaja putri yang mempelajari kebudayaan tradisional Jepang seperti upacara minum teh (chadou) dan merangkai bunga (kadou) sekalipun senang pergi menonton pertandingan olah raga. Begitu pula di kota – kota, bukanlah pemandangan yang mengherankan manakala terlihat kuil – kuil kuno tegak berdampingan dengan gedung – gedung pencakar langit. Inilah kebudayaan Jepang dewasa ini sebagai gabungan yang mengagumkan antara Kebudayaan lama dan kuno, antara Timur dan Barat.

Seiring dengan kemajuan media informasi, informasi dengan mudah mengalir masuk dan hal – hal baru pun dengan cepat tersebar luas di Jepang. Namun kebudayaan tradisional seperti festival tradisional dan gaya hidup yang sudah berurat berakar di setiap daerah masih tetap melekat sebagai ciri khas daerah ybs, sepeti halnya dialek daerah. Demikian pula dengan industrinya. Jepang yang dulu dikenal sebagai Negara agraris, hanya dengan melalui proses industrialisasi cepat selama 1 abad, kini telah menjelma sebagai salah satu Negara industri maju di dunia. Berbagai penelitian dalam berbagai bidang, mulai dari rekayasaa elektronik sampai manajemen internasional dsb, bisa dilakukan di berbagai Universitas.

Tidakkah anda tertarik untuk belajar di ‘JEPANG’, sebuah Negara dengan perpaduan harmonis antara Kebudayaan tradisional kuno dan Kemajuan ilmu pengetahuan-Teknologi yang mengagumkan?

Tuesday, February 28, 2006

Ali Baba dan Qasim

Ada dua saudara yang nasibnya berlainan. Ali Baba, sang adik, hidup papadan merana. Sang kakak, Qasim, hidup senang berlimpah harta. Satu hari,Ali Baba pergi ke gurun pasir, tak disangka ia bertemu rombonganpenyamun yang menuju sebuah pintu batu dan mengucapkan kata saktisehingga pintu itu terbuka. Ali Baba yang bersembunyi memperhatikandengan seksama kelakuan para penyamun itu.

Ketika para penyamun itu keluar, pimpinannya lagi-lagi mengucapkan katasakti yg sama sehingga pintu batu kembali tertutup. Setelah rombonganpenyamun itu pergi, Ali Baba dengan rasa ingin tahu yang besar mulaimendekati pintu batu itu. Ia ucapkan kata sakti yang tadi didengarnya.

AliBaba terkejut ketika pintu batu itu terbuka. Ia lebih terkejut lagi ketikamendapati emas dan perhiasan serta barang-barang yang mahal didalam guaitu. Rupanya, itulah tempat persembunyian atau "gudang harta" parapenyamun selama turun temurun dari generasi ke generasi.Ali Baba mengambil harta itu secukupnya lalu pulang ke rumah. Sayang,akibat keteledoran isterinya, sangkakak, Qasim, mengetahui perubahan yangterjadidengan hidup adiknya itu. Ali Baba yang dulunya miskin kini menjadihidup lebih dari cukup.

Terdorong rasa iri hati yang menjulang, Qasim bertanya hal ihwal kekayaanadiknya. Ali Baba, terdorong rasa sayang pada kakaknya, menceritakanrahasianya termasuk kata sakti untuk membuka pintu batu.

Malam itu juga, Qasim segera pergi ke "gudang harta" para penyamun itu.Dengan lancar ia ucapkan kata sakti itu. Pintu terbuka. Qasim terperangah.Matanya langsung silau dengan kepingan emas dan barang berharga lainnya.Tak henti-hentinya ia pandangi limpahan harta itu. Lama ia berdirimengagumi barang mewah yang kini tergeletak didepannya.

Qasim segera sadar dan mulailah ia dengan bernafsu mengumpulkankepingan emas itu. Ketika telah penuh karung-karung kosong yang ia bawa;ketika peluh telah membasahi tubuhnya, ketika ia telah puas mengagumiharta itu, ia pun hendak keluar. Akan tetapi, kerongkongannya tercekat! Ialupa kata sakti yang harus diucapkan untuk membuka pintu batu.

Sementara itu, rombongan penyamun telah kembali datang. Sang kepalapenyamun mengucapkan kata sakti dan terbukalah pintu batu. Mereka kagetketika mendapati Qasim di dalam "gudang harta" mereka. Qasim yangtertangkap basah hanya bisa pasrah. Nasib Qasim selanjutnya sudah bisa kitatebak.

Kisah Ali Baba dan Qasim di atas merupakan salah satu kisah yang terdapatdalam "Kisah Seribu Satu Malam". Sebagaimana kisah-kisah yang lain,sebenarnya, dongeng di atas mengajarkan kita banyak hal, asalkan kita maumembaca yang tersirat.

Boleh jadi, pengetahuan yang kita miliki sama. Boleh jadi, kita sama-samamengetahui rahasia ilahi; boleh jadi pula kita sama-sama hafal kata sakti atauayat ilahi. Namun, kesucian hatilah yang membedakan kita.

Ali Baba tidak silau dengan harta duniawi. Sementara itu, meskipun Qasimsudah diberi tahu kata sakti, ketika ia silau dengan harta duniawi, mendadakia lupa kata sakti itu. Pikirannya hanya dipenuhi dengan harta dan harta.Kerakusannya membuat ia memenuhi isi kepalanya dengan segudangrencana. Mungkin ia berencana membangun real estat, boleh jadi iaberencana membangun pusat-pusat pertokoan. Siapa tahu ia juga berencanamembangun jalan tol yang menghubungkan satu kota dengan kota lain dansetiap yang lewat akan dimintakan bayaran. Ketika isi kepalanya penuhdengan hal-hal itu, ia menjadi lupa akan kata sakti.

Ayat Ilahi, atau yang disimbolkan dengan kata sakti di atas, hanya akanmenghampiri mereka yang suci hatinya. Boleh jadi, kita sama-sama tahumakna ayat Ilahi, namun nasib kita bisa berbeda.Tinggal pilih: mau menjadiAli Baba atau Qasim?